Wednesday, June 1, 2011

Singgah

Aku bukan pejalan jauh. Tapi aku sudah berjalan entah berapa ribu mil.
Sejak mengenalmu..
Bukti ke-ABG-anku












Dan jika siang ini aku menuliskannya, itu karena aku ingin berhenti.
Karena aku tak lagi dua puluh, begitupun kamu..

Sunday, January 23, 2011

Ode buat Pujangga, Sepertimu..

Lebih baik begini
Kau mati, dan tak usah kembali
Daripada aku jadi gila, menghitung tiap koordinat kemana kakimu melangkah
Kau toh sebenarnya biasa-biasa saja

Dan di hari sejak kau bergenggaman tangan dengannya
Sebenarnya aku sudah memutuskan
Bagaimana aku harus memperlakukan perasaanku, dan terlambat menyadari
Bahwa kau memang sebenarnya biasa-biasa saja

Kalau ini terdengar seperti amarah, sebenarnya tidak begitu
Amarah barangkali telah layu sejak awal pertemuan kita
Saat mulutmu tiba-tiba mengeluarkan begitu banyak busa tak menentu
Dan waktu itulah aku merasa satu-satunya perempuan yang begitu menggilai renda
Bahkan tak memedulikan isinya

Ini puisi paling aneh yang pernah ku tulis
Saat aku tak meributkan lagi R dan D, R dan D yang dulu mati-matian ku tangisi
Seperti saat aku kehilangan anak anjing

Aku senang orang lain tak mengerti saat membaca ini
Bahkan kita sendiri pun mungkin tak memahami bagaimana bisa kita punya kenangan?
Hanya satu yang ku ingin mereka tahu..
Bahwa kau sungguh laki-laki biasa-biasa saja, dengan mulut pujangga

Ijinkan aku tertawa..

Segitiga

(Ini kali pertama aku menulis sesuatu, selain tentang mantan kekasihku, yang ku puja-puja itu. Dan barangkali ini memang untukmu)

Aku menyukai jawabanmu. Semuanya.
Tapi aku tak menyukai keadaanmu.
Dan satu lagi, aku tak menyukai keberadaanmu bersamanya.

Cinta barangkali sudah mulai menjelma,
menjadi rasa angkuh tak terperi,
bahkan sebelum ku kenal definisi.
Dan kau mati-matian tak mempercayainya.

Aku tak mau ribut dengan segala penjelasan.
Aku memang menjadi semacam monster di masa lalumu.
Membawa kelabu, bahkan sebelum sempat ku sadari.
Tapi tak mungkin ku yakinkan kau bahwa kini aku adalah bidadari,
dengan botol-botol bir di tiap pagi.

Kau dengar? Bidadari mana yang minum bir di pagi hari?
Barangkali hanya aku. Karena itu aku malu, mengaku bidadari kepadamu.
Tapi entah kenapa, aku selalu seperti putri malu jika berhadapan denganmu.
Jangan lagi kau bilang ini cinta ya..

O ya, setelah kau baca ini, kau boleh memikirkan lagi,
tawaran-tawaranku yang sebenarnya tak sulit dimengerti.
Dan kau tahu, aku semakin ingin menghabiskan lebih banyak botol bir,
mengingat tiga hari kita yang begitu sederhana..

Tuesday, January 18, 2011

Kesasar

Hey, kau tahu, aku selalu langsung bersemangat tiap kali melihat peta.
Ternyata jarak kotamu dan kotaku tak begitu jauh.

Sebenarnya kita hanya dipisahkan sebuah samudra yang tampaknya pun tak begitu luas. Dimana bisa ku kirim puisi-puisi cinta melewatinya. Bahkan bingkisan-bingkisan yang ku bungkus sedemikian rupa. Untuk sampai padamu.
Disana, kau tinggal menunggunya. Mungkin sehari atau dua malam perjalanan.
Sungguh, begitu berseri-serinya aku membayangkan betapa serunya kita akan berkirim benda-benda melalui samudra. Oh, romantisnya.

Dan ini, kotak yang ku kirim, akan kau terima dua hari sesudahnya. Kotak yang ini lebih istimewa dari biasanya.
Tak mau ku katakan. Kau lihat sendiri saja.
Sebelum berangkat, sudah ku bisikkan padanya. "Kau harus sampai tepat di tepian laut pulaunya. Laut yang dulu sering ku kunjungi berdua dia. Kau tahu kan, di tepi barat Sumatra ya, jangan sampai kesasar.."
Dan kotak itu menyerahkan diri di genggaman tanganku.

Satu. Dua. Seminggu. Sudahkah kau terima kotak pemberianku, sayang?
Tidak. Jawabmu.
Baiklah. Mungkin harus sabar menunggu.

Sepuluh. Sebelas. Dua minggu. Belum juga. Mungkin harus ku hitung lagi.
Sebulan telah lewat.
Kotak itu menghianatiku.

Kau bertanya. Kemana kotaknya? Andai ku tahu, akan ku jawab tanyamu.

Dua bulan. Tiga. Kita mulai lupa.

Sampai suatu purnama, kau menelponku, dengan suara terbata-bata.
Sayang, kotaknya, kesasar ke Batavia.
Aku mau mengambilnya.

Aku mengangguk saja. Sambil bertanya-tanya, kok bisa kotak itu kesasar sebegitu jauhnya.
Tunggulah saja, katamu.
Dan aku tak bisa apa-apa. Hanya menunggumu.

Satu. Dua. Tiga. Kau tak ada.

Seminggu. Dua. Tiga. Tak muncul juga. Mungkin kotak itu terlanjur kesasar di pelosok-pelosok Batavia.
Akan ku tunggu..

Entah sampai kapan. Tapi semusim sudah lewat. Dan tak ada kabarmu juga. Bersama kotak itu.
Masihkah kalian berdua di Batavia?

Kota kita memang tak saling bertautan. Terpisah jelas oleh samudra.
Tapi bukankah kini kau ada di tanah yang sama denganku? Tanpa terpisah bahkan selat, hanya waktu.

Di kotaku ini, aku selalu menunggu. Seorang kekasih. Dan rinduku yang ku simpan rapi dalam sebuah kotak. Kesasar di Batavia.

Sunday, January 16, 2011

Hampir Semusim

Akhirnya, rinduku menetas juga
Tak bisa kutahan malu-malu seperti itu
Aku orang yang selalu bicara tentang semuanya
Bahkan di musim salju yang membekukan hatimu

Kita barangkali akan menjadi semacam kenangan
Yang bahkan tak tertulis di buku sejarah anak sekolah
Tapi sebelum rinduku layu
Ingin kukatakan padamu, betapa aku memuja sepasang matamu

Dan satu hari kau akan tahu
Tak sulit dan tak mudah menjadi aku
Aku hanya butuh sebuah malam yang dingin
Lalu semua cerita tentangmu mengalir begitu saja seperti air selokan yang penuh kebanjiran

Aku sendiri tak mempercayainya
Rinduku tak hilang-hilang oleh masa

Untukmu, Jika Kelak Kau Menjadi Istri Mantan Kekasihku

Dia tak bisa bangun pagi. Hal pertama yang harus kau tahu. Belasan kali panggilan, tak akan membuka matanya. Kau harus memancingnya dengan secangkir kopi panas di samping tempat tidurnya. Setelah itu, dia baru akan tersenyum, dan menciummu.
Ciuman yang tak tahu apa artinya. Mungkin ucapan terima kasih karena kau tak membuatnya terlambat datang di tempatnya bekerja. Atau karena, ia mencintaimu.

Semoga saja..

Kau harus menyiapkan semuanya. Dia bayi yang begitu manja. Walau aku tak pernah berhenti mengaguminya. Dan, ya, kau sudah bisa menebak, dia begitu rewel tentang kemeja yang harus benar-benar licin saat kau kurang sempurna menyetrikanya. Sarapan pagi yang tepat tertata di atas meja, dan kau harus duduk bersamanya juga.
Jangan pernah mengeluh untuk semua permintaannya. Dia tak begitu suka.

Itulah kelemahanku.

O ya, dia akan menciummu seakan dia tak akan kembali lagi saat mobilnya keluar dari pelataran rumah. Ciuman yang begitu hangat. Tak memedulikan bisikan tetangga yang mengintip di balik jendela. Begitulah ia.
Dan ia akan membuat wajahmu tak pernah lepas dari senyuman setelahnya. Bahkan mungkin sampai ia sudah berada di kantornya. Ia memang paling bisa.

Itulah yang aku suka.

Tapi selama ia bekerja, jangan kau menjelma juga seorang bayi yang merengek-rengek meminta ia memberimu kabar setiap detik. Ia mendambakan kamu serupa Ibunya. Sibuklah dengan kegiatanmu sendiri merapikan rumah, memasak untuknya, atau apalah yang penting jangan keluar rumah. Kau boleh meneleponnya, tapi sungguh jangan lama-lama. Ia tengah menjadi Ksatria di tempat kerjanya. Dan di saat seperi itu, ia tak butuh seorang Mama.

Aku tak bisa.

Dan saat ia datang, ia berharap kau menyambutnya dengan wajah paling cantikmu. Dan kalian akan bercinta di mana saja. Di atas meja. Di ruang tamu. Di depan TV. Bahkan di dapur. Tentang itu, kau pasti akan memujanya. Sama seperti aku.
Jika hari hujan, ia akan mendekapmu dalam pelukannya. Sampai ia tertidur. Biasanya, ia akan meletakkan salah satu tangannya di bawah tengkukmu, dan menyuruhmu menidurinya. Seolah kalian berpelukan selamanya, tak peduli topan badai di luar sana. Jujur saja, ini yang tak begitu berhasil aku lupakan. Bahkan sampai kisah ini ku tuturkan.
O ya, jangan lupa, dia suka tidur malam. Kau akan diajaknya sekedar menghabiskan waktu untuk menonton DVD. Atau sekadar tertawa-tawa bercerita kejadian-kejadian lucu di harinya saat itu.
Di sela-sela waktu seperti itu, jangan lupa selalu mengisi cangkir kopinya saat habis. Si pecinta kopi itu.

Mungkin sudah semua. Hampir seluruhnya kau akan tahu dari ceritaku. Akupun tak keberatan membaginya.
Bayangkan kau akan mengalami hari-hari indah sepertiku, dulu.

Tak akan kukatakan disini. Mengapa aku pergi. Ia tahu alasannya. Dan mungkin tak akan bercerita padamu juga.
Tapi aku mencintainya. Seperti kau mencintai dia saat ini. Dan mungkin seperti dia mencintaimu sekarang.

Dia juga pernah begitu mencintaiku..

Monday, December 6, 2010

Namanya, Lanang

Ini anakku yang pertama. Kuberi ia nama, Lanang. Meskipun ia bukan Jawa, tapi ingin kuberi ia nama Jawa.
Lanang ini, hampir setahun ada di perutku. Meringkuk tak ingin dikeluarkan. Bernafas lebih lama lewat paru-paruku. Merasakan air dari pojok mata, merayap lewat hidung, dan mungkin masuk ke perut dan dihirupnya.
Mungkin karena itu, sepertinya ia merasakan separuh dari apa yang ku rasakan. Mengerti hampir semua isi hatiku. Dan ia pun tahu, aku mencintai lebih dari kedua kakaknya. Lanang itu.

Aku tak pernah melarangnya bergaul dengan siapa saja. Lanang itu. Gagah serupa ksatria. Gilang gemilang membuat gadis-gadis rela memberikan leher untuknya. Entah itu berlebihan atau tidak.
Lanang sendiri, yang entah kenapa, tak pernah berani mengenalkan gadis hitam manis, si rambut merah, atau calon dokter muda yang rupawan juga itu. Aku hanya mengintip mereka dari balik rimbunan. Tersenyum.
Dia sudah besar. Dan dia sudah keluar dari perutku, hampir dua puluh sembilan tahun yang lalu.
Tapi aku juga tak tahu, kenapa selalu titik-titik itu muncul di sudut mataku saat aku melihat Lanang bersama salah satu diantara mereka. Mungkin itulah sebabnya.

Aku hanya menangis. Bukan bersedih. Tapi Lanang sepertinya tak mengerti. Ia tetap takut. Ia takut gadis-gadis itu ku gigit. Dia bahkan lupa, aku sudah tak bergigi.
Sampai si rambut ikal itu bersamanya, Lanang seperti orang kebingungan merapal mantra tiap kali ingin bercerita padaku. Padahal aku tahu, si ikal itu sudah beranak satu. Entah anak siapa.

Sebenarnya, aku hanya ingin kau menjelma namamu. Lanang. Laki-laki sejati. Yang berani membawa gadisnya di depan hidungku. Hidungku saja. Tak perlu gigiku. Karena aku bahkan sudah tak bergigi.
Tapi aku tahu Lanang. Ia tak akan berani. Ia akan mengira aku bersedih. Dan memasukkannya lagi ke perutku.

Dan, untuk ini, aku tak akan bersuara. Biar kutunggu saja ia disini. Sambil melihat mata kecilnya yang memandangi fotoku.
Sepertinya ia merindukan aku. Anakku. Laki-laki sejatiku.

Jadilah Lanang.

Sunday, November 28, 2010

Janji dan Hati

Aku sudah tak punya hati. Ia menghilang bersama lenyapnya seorang laki-laki bernama Lentera. Dia pacarku.
Sejak hari itu, mungkin hatiku memberati langkahnya. Mungkin juga tidak. Siapa orangnya sanggup terus-menerus membawa dua hati. Hatiku, dan miliknya sendiri.
Empat tahun yang lalu. Belum terlalu lama. Maka aku belum bosan menunggunya. Siapa tahu hatiku memang masih ada bersamanya, menempel di kotak kecil di ikat pinggangnya, seperti ia membawa blackberry. Uh..
Dia masih pacarku.

Jika suatu hari kau ketemu. Laki-lakiku itu. Katakan padanya. Tidakkah ia resah dalam mimpi-mimpinya tentang suatu malam, dimana kita bercinta sampai kebasahan. Dan tertawa-tawa sampai hampir menangis.
Tak ada satu malam pun kami lewati. Kami bagi apa saja. Selain cerita. Mungkin juga nyawa. Waktu itu, saat kita masih bersama.
Karenanya, aku belum bosan menunggunya.

Pernah, ia bertanya padaku. Kenapa kau mau? Tak bisa kuberi apa-apa kepadamu?
Dan memang ia tak pernah memberi apa-apa. Kecuali janji-janji sekeranjang penuh. Tapi sudah lama aku putuskan, untuk menikmati sekeranjang janji itu. Maka ku katakan padanya. Perutku sudah kenyang dengan hanya makan janjimu.
Dan ia tersenyum. Selalu setelah mendengar aku berkata begitu.

Malam-malam kami bersama adalah malam-malam dimana hujan tak akan terdengar sampai jatuh ke atap rumah.
Tertahan di balik selimut. Yang kuyup sebab peluh kami. Dan kami melingkar di dalamnya, saling memiliki.
Tak satu atau dua hari. Tapi entah berapa.

Dan hari dimana aku menangis tertahan, adalah hari Minggu ketiga di bulan kedelapan.
Di saat hujan badai di kota kecil itu, tempat kami dinikahkan oleh janji-janji. Kau tak pergi. Aku pun tidak.
Hanya janji-janji kami pilih satu demi satu. Mana yang mesti diganti. Dan mana yang bisa dibawa sampai mati.
Hari itu kau berkata.
Hatimu akan ku bawa. Disini.
Sambil kau tunjuk kotak kecil di ikat pinggangmu. Seperti kau membawa blackberry.

Aku pun berseri-seri. Seperti bocah diberi gula-gula di tangan kirinya. Dan membawa balon warna-warni di tangan sebelahnya.
Begitulah.

Sekali lagi ku katakan padamu. Jika kau bertemu laki-lakiku. Katakan padanya. Aku masih menunggunya.
Tidak di rumah kecil kami waktu itu. Tapi di tempat persembunyian yang pasti ia tahu.
O ya, dan satu lagi. Katakan juga padanya. Aku selalu tak pernah keberatan dengan janji-janji yang kini berada di tempat serupa keranjang sampah.

Tuesday, November 2, 2010

Gendhis

Dia Gendhis. Perempuan Jawa 29 tahun yang baru saja ditinggal mati suaminya. Suami yang aku tahu pasti, tidak dicintainya. Tapi mencintainya, entah dengan apa saja.
Dan kini ia menangis tersedu, di pangkuanku. Karena ia anakku. Satu-satunya.

"Gusti Allah tak akan memberi cobaan yang melebihi batas kemampuan umatnya, Nak. Sabarlah, berarti kamu sedang diuji," aku mengelus-elus rambutnya yang panjang.
Padahal aku jelas tahu, ia tidak menangisi kepergian suaminya.

Di depan orang banyak, aku tidak semestinya membuat malu. Apalagi ia anakku. Tapi aku kenal laki-laki itu.

Kulihat Gendhis. Ia tampak menyesal. Dan sudah sepatutnya menyesal. Berada diantara keadaan yang aku sendiri, setua ini, tak akan mampu menjelaskan. Cuma aku tahu pasti, Gendhis begitu mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang satunya.

Kalau ia, Nak, tak mendatangimu, di hari suamimu mati oleh sakit hatinya, sungguh ia bukan sejenis Ksatria yang patut diperjuangkan, sebenarnya. Apalagi ia sama sekali tak berani menyuguhkan batang hidungnya di depanku.
Ibumu ini tahu, jenis laki-laki apa macam itu.
Laki-laki seperti itu sepatutnya yang kelak akan merasakan karma dari pilu suamimu. Berhutang ribuan penyesalan untuk setiap tetes air matamu.
Biar ia jalani karmanya, Nak. Seperti engkau yang saat ini jalani karma untuk pedih suamimu. Tak usah menyesal.
Iku sing jenenge urip, Gendhis, anakku..

Dan pada 'urip', sungguh bukanlah seperti yang orang-orang bilang. Gusti Allah tak perlu ditanyai. Sama sekali tak ikut campur pada urusan perselingkuhanmu dengan laki-laki ini. Apalagi membantu kamu untuk membuat keputusan menikah dengan almarhum suamimu, Gendhis.
Sungguh juga, jangan menanyakan kenapa pada-Nya. Ibu sudah bilang itu berkali-kali.

Bijaksanalah pada urip, lan Sing Nggawe Urip.
Tidak ada sesuatu yang ada di tangan-Nya, Gendhis, anakku. Semua sudah kau lihat setiap hari dalam garis-garis di tanganmu. Mengikuti kemana kakimu. Tidur di saat matamu terpejam. Dan membuka lagi disaat kamu terbangun.
Semua ada di tanganmu, Nak..

Tapi ini di depan orang banyak, semestinya aku tidak mengatakan semua hal itu..
"Sudahlah, Nak, ini cobaan, cobaan..," aku mengelus-elus kepalamu lagi.

Kau memandangku kuyu. Dan kau pun memahami, ini sama sekali bukan cobaan.

Sunday, September 12, 2010

Jatuh Cinta pada Seorang Ksatria

Akhirnya, kembali juga aku ke hutan tempat peri-peri kecil bermukim. Pulang ke kastaku, pemimpi.
Disini semua kesedihan, kami lagukan dengan bernyanyi. Tak mau ada tangis. Atau lara yang membuat kami berhenti menari.
Semua duka toh bisa terlupa dengan tawa.

Dan pangeran tampan nan gagah dari kasta pemburu itu baru saja pergi. Bau cemerlang dari masa lalu ia bawa turut serta.
Seorang ksatria dari kasta berbeda. Pada dunianya, hidup orang-orang yang memandang hari-hari dengan gagah. Bersama busur dan anak panah.
Padanya, dada-dada tampak membusung. Kaki-kaki berdiri kokoh dalam sepatu lars yang terinjak sedikit saja sudah sakit minta ampun kakiku.
Dagu kokoh yang mencuat ke atas, memandang langit. Tak ada yang menandingi keperkasaan ksatria dari kasta pemburu. Orang-orang dari kasta itu mungkin jugalah yang dinamai oleh para gadis desa sebagai layak dipuja.

Sekali ia melintas hutan, kami nyanyikan nyanyian kami yang paling gempita. Selamat datang, wahai ksatria. Selamat datang di rumah kami, dimana sedih tak pernah menghalangi kami.
Kami ingin ia berlama-lama berada disini. Pada hutan kami, tak akan pernah kau temukan lagi.

Peri-peri kecil tahu, aku jatuh cinta pada salah satu ksatria. Yang paling tampan dan paling cemerlang. Kami sering bertemu sembunyi-sembunyi, dengan tawa peri-peri yang menyimpan rahasia kami.
Dan begitulah, ku nikmati setiap detik ia melintas hutan. Melakukan pertemuan rahasia. Tertawa-tawa bersama dalam satu dua jam waktu, sudahlah cukup.
Setelah itu, ia lanjutkan berburu, dan hidup kembali dengan ksatria-ksatria lain dari kastanya.

Kusebut ini, kisah rahasia. Kita sembunyikan di bilik-bilik gubuk diantara sungai-sungai. Berdebaran setiap kali rumput bergemeresak, mengintip kalau-kalau ada yang datang.
Terkikik melihat ksatria-ksatria lain kami kelabui.

Aku tak mengambil ksatriamu. Tenang saja. Pada hidup kita, tergantung impian yang berbeda.