Sunday, September 12, 2010

Jatuh Cinta pada Seorang Ksatria

Akhirnya, kembali juga aku ke hutan tempat peri-peri kecil bermukim. Pulang ke kastaku, pemimpi.
Disini semua kesedihan, kami lagukan dengan bernyanyi. Tak mau ada tangis. Atau lara yang membuat kami berhenti menari.
Semua duka toh bisa terlupa dengan tawa.

Dan pangeran tampan nan gagah dari kasta pemburu itu baru saja pergi. Bau cemerlang dari masa lalu ia bawa turut serta.
Seorang ksatria dari kasta berbeda. Pada dunianya, hidup orang-orang yang memandang hari-hari dengan gagah. Bersama busur dan anak panah.
Padanya, dada-dada tampak membusung. Kaki-kaki berdiri kokoh dalam sepatu lars yang terinjak sedikit saja sudah sakit minta ampun kakiku.
Dagu kokoh yang mencuat ke atas, memandang langit. Tak ada yang menandingi keperkasaan ksatria dari kasta pemburu. Orang-orang dari kasta itu mungkin jugalah yang dinamai oleh para gadis desa sebagai layak dipuja.

Sekali ia melintas hutan, kami nyanyikan nyanyian kami yang paling gempita. Selamat datang, wahai ksatria. Selamat datang di rumah kami, dimana sedih tak pernah menghalangi kami.
Kami ingin ia berlama-lama berada disini. Pada hutan kami, tak akan pernah kau temukan lagi.

Peri-peri kecil tahu, aku jatuh cinta pada salah satu ksatria. Yang paling tampan dan paling cemerlang. Kami sering bertemu sembunyi-sembunyi, dengan tawa peri-peri yang menyimpan rahasia kami.
Dan begitulah, ku nikmati setiap detik ia melintas hutan. Melakukan pertemuan rahasia. Tertawa-tawa bersama dalam satu dua jam waktu, sudahlah cukup.
Setelah itu, ia lanjutkan berburu, dan hidup kembali dengan ksatria-ksatria lain dari kastanya.

Kusebut ini, kisah rahasia. Kita sembunyikan di bilik-bilik gubuk diantara sungai-sungai. Berdebaran setiap kali rumput bergemeresak, mengintip kalau-kalau ada yang datang.
Terkikik melihat ksatria-ksatria lain kami kelabui.

Aku tak mengambil ksatriamu. Tenang saja. Pada hidup kita, tergantung impian yang berbeda.