Sunday, January 23, 2011

Ode buat Pujangga, Sepertimu..

Lebih baik begini
Kau mati, dan tak usah kembali
Daripada aku jadi gila, menghitung tiap koordinat kemana kakimu melangkah
Kau toh sebenarnya biasa-biasa saja

Dan di hari sejak kau bergenggaman tangan dengannya
Sebenarnya aku sudah memutuskan
Bagaimana aku harus memperlakukan perasaanku, dan terlambat menyadari
Bahwa kau memang sebenarnya biasa-biasa saja

Kalau ini terdengar seperti amarah, sebenarnya tidak begitu
Amarah barangkali telah layu sejak awal pertemuan kita
Saat mulutmu tiba-tiba mengeluarkan begitu banyak busa tak menentu
Dan waktu itulah aku merasa satu-satunya perempuan yang begitu menggilai renda
Bahkan tak memedulikan isinya

Ini puisi paling aneh yang pernah ku tulis
Saat aku tak meributkan lagi R dan D, R dan D yang dulu mati-matian ku tangisi
Seperti saat aku kehilangan anak anjing

Aku senang orang lain tak mengerti saat membaca ini
Bahkan kita sendiri pun mungkin tak memahami bagaimana bisa kita punya kenangan?
Hanya satu yang ku ingin mereka tahu..
Bahwa kau sungguh laki-laki biasa-biasa saja, dengan mulut pujangga

Ijinkan aku tertawa..

Segitiga

(Ini kali pertama aku menulis sesuatu, selain tentang mantan kekasihku, yang ku puja-puja itu. Dan barangkali ini memang untukmu)

Aku menyukai jawabanmu. Semuanya.
Tapi aku tak menyukai keadaanmu.
Dan satu lagi, aku tak menyukai keberadaanmu bersamanya.

Cinta barangkali sudah mulai menjelma,
menjadi rasa angkuh tak terperi,
bahkan sebelum ku kenal definisi.
Dan kau mati-matian tak mempercayainya.

Aku tak mau ribut dengan segala penjelasan.
Aku memang menjadi semacam monster di masa lalumu.
Membawa kelabu, bahkan sebelum sempat ku sadari.
Tapi tak mungkin ku yakinkan kau bahwa kini aku adalah bidadari,
dengan botol-botol bir di tiap pagi.

Kau dengar? Bidadari mana yang minum bir di pagi hari?
Barangkali hanya aku. Karena itu aku malu, mengaku bidadari kepadamu.
Tapi entah kenapa, aku selalu seperti putri malu jika berhadapan denganmu.
Jangan lagi kau bilang ini cinta ya..

O ya, setelah kau baca ini, kau boleh memikirkan lagi,
tawaran-tawaranku yang sebenarnya tak sulit dimengerti.
Dan kau tahu, aku semakin ingin menghabiskan lebih banyak botol bir,
mengingat tiga hari kita yang begitu sederhana..

Tuesday, January 18, 2011

Kesasar

Hey, kau tahu, aku selalu langsung bersemangat tiap kali melihat peta.
Ternyata jarak kotamu dan kotaku tak begitu jauh.

Sebenarnya kita hanya dipisahkan sebuah samudra yang tampaknya pun tak begitu luas. Dimana bisa ku kirim puisi-puisi cinta melewatinya. Bahkan bingkisan-bingkisan yang ku bungkus sedemikian rupa. Untuk sampai padamu.
Disana, kau tinggal menunggunya. Mungkin sehari atau dua malam perjalanan.
Sungguh, begitu berseri-serinya aku membayangkan betapa serunya kita akan berkirim benda-benda melalui samudra. Oh, romantisnya.

Dan ini, kotak yang ku kirim, akan kau terima dua hari sesudahnya. Kotak yang ini lebih istimewa dari biasanya.
Tak mau ku katakan. Kau lihat sendiri saja.
Sebelum berangkat, sudah ku bisikkan padanya. "Kau harus sampai tepat di tepian laut pulaunya. Laut yang dulu sering ku kunjungi berdua dia. Kau tahu kan, di tepi barat Sumatra ya, jangan sampai kesasar.."
Dan kotak itu menyerahkan diri di genggaman tanganku.

Satu. Dua. Seminggu. Sudahkah kau terima kotak pemberianku, sayang?
Tidak. Jawabmu.
Baiklah. Mungkin harus sabar menunggu.

Sepuluh. Sebelas. Dua minggu. Belum juga. Mungkin harus ku hitung lagi.
Sebulan telah lewat.
Kotak itu menghianatiku.

Kau bertanya. Kemana kotaknya? Andai ku tahu, akan ku jawab tanyamu.

Dua bulan. Tiga. Kita mulai lupa.

Sampai suatu purnama, kau menelponku, dengan suara terbata-bata.
Sayang, kotaknya, kesasar ke Batavia.
Aku mau mengambilnya.

Aku mengangguk saja. Sambil bertanya-tanya, kok bisa kotak itu kesasar sebegitu jauhnya.
Tunggulah saja, katamu.
Dan aku tak bisa apa-apa. Hanya menunggumu.

Satu. Dua. Tiga. Kau tak ada.

Seminggu. Dua. Tiga. Tak muncul juga. Mungkin kotak itu terlanjur kesasar di pelosok-pelosok Batavia.
Akan ku tunggu..

Entah sampai kapan. Tapi semusim sudah lewat. Dan tak ada kabarmu juga. Bersama kotak itu.
Masihkah kalian berdua di Batavia?

Kota kita memang tak saling bertautan. Terpisah jelas oleh samudra.
Tapi bukankah kini kau ada di tanah yang sama denganku? Tanpa terpisah bahkan selat, hanya waktu.

Di kotaku ini, aku selalu menunggu. Seorang kekasih. Dan rinduku yang ku simpan rapi dalam sebuah kotak. Kesasar di Batavia.

Sunday, January 16, 2011

Hampir Semusim

Akhirnya, rinduku menetas juga
Tak bisa kutahan malu-malu seperti itu
Aku orang yang selalu bicara tentang semuanya
Bahkan di musim salju yang membekukan hatimu

Kita barangkali akan menjadi semacam kenangan
Yang bahkan tak tertulis di buku sejarah anak sekolah
Tapi sebelum rinduku layu
Ingin kukatakan padamu, betapa aku memuja sepasang matamu

Dan satu hari kau akan tahu
Tak sulit dan tak mudah menjadi aku
Aku hanya butuh sebuah malam yang dingin
Lalu semua cerita tentangmu mengalir begitu saja seperti air selokan yang penuh kebanjiran

Aku sendiri tak mempercayainya
Rinduku tak hilang-hilang oleh masa

Untukmu, Jika Kelak Kau Menjadi Istri Mantan Kekasihku

Dia tak bisa bangun pagi. Hal pertama yang harus kau tahu. Belasan kali panggilan, tak akan membuka matanya. Kau harus memancingnya dengan secangkir kopi panas di samping tempat tidurnya. Setelah itu, dia baru akan tersenyum, dan menciummu.
Ciuman yang tak tahu apa artinya. Mungkin ucapan terima kasih karena kau tak membuatnya terlambat datang di tempatnya bekerja. Atau karena, ia mencintaimu.

Semoga saja..

Kau harus menyiapkan semuanya. Dia bayi yang begitu manja. Walau aku tak pernah berhenti mengaguminya. Dan, ya, kau sudah bisa menebak, dia begitu rewel tentang kemeja yang harus benar-benar licin saat kau kurang sempurna menyetrikanya. Sarapan pagi yang tepat tertata di atas meja, dan kau harus duduk bersamanya juga.
Jangan pernah mengeluh untuk semua permintaannya. Dia tak begitu suka.

Itulah kelemahanku.

O ya, dia akan menciummu seakan dia tak akan kembali lagi saat mobilnya keluar dari pelataran rumah. Ciuman yang begitu hangat. Tak memedulikan bisikan tetangga yang mengintip di balik jendela. Begitulah ia.
Dan ia akan membuat wajahmu tak pernah lepas dari senyuman setelahnya. Bahkan mungkin sampai ia sudah berada di kantornya. Ia memang paling bisa.

Itulah yang aku suka.

Tapi selama ia bekerja, jangan kau menjelma juga seorang bayi yang merengek-rengek meminta ia memberimu kabar setiap detik. Ia mendambakan kamu serupa Ibunya. Sibuklah dengan kegiatanmu sendiri merapikan rumah, memasak untuknya, atau apalah yang penting jangan keluar rumah. Kau boleh meneleponnya, tapi sungguh jangan lama-lama. Ia tengah menjadi Ksatria di tempat kerjanya. Dan di saat seperi itu, ia tak butuh seorang Mama.

Aku tak bisa.

Dan saat ia datang, ia berharap kau menyambutnya dengan wajah paling cantikmu. Dan kalian akan bercinta di mana saja. Di atas meja. Di ruang tamu. Di depan TV. Bahkan di dapur. Tentang itu, kau pasti akan memujanya. Sama seperti aku.
Jika hari hujan, ia akan mendekapmu dalam pelukannya. Sampai ia tertidur. Biasanya, ia akan meletakkan salah satu tangannya di bawah tengkukmu, dan menyuruhmu menidurinya. Seolah kalian berpelukan selamanya, tak peduli topan badai di luar sana. Jujur saja, ini yang tak begitu berhasil aku lupakan. Bahkan sampai kisah ini ku tuturkan.
O ya, jangan lupa, dia suka tidur malam. Kau akan diajaknya sekedar menghabiskan waktu untuk menonton DVD. Atau sekadar tertawa-tawa bercerita kejadian-kejadian lucu di harinya saat itu.
Di sela-sela waktu seperti itu, jangan lupa selalu mengisi cangkir kopinya saat habis. Si pecinta kopi itu.

Mungkin sudah semua. Hampir seluruhnya kau akan tahu dari ceritaku. Akupun tak keberatan membaginya.
Bayangkan kau akan mengalami hari-hari indah sepertiku, dulu.

Tak akan kukatakan disini. Mengapa aku pergi. Ia tahu alasannya. Dan mungkin tak akan bercerita padamu juga.
Tapi aku mencintainya. Seperti kau mencintai dia saat ini. Dan mungkin seperti dia mencintaimu sekarang.

Dia juga pernah begitu mencintaiku..