Monday, December 6, 2010

Namanya, Lanang

Ini anakku yang pertama. Kuberi ia nama, Lanang. Meskipun ia bukan Jawa, tapi ingin kuberi ia nama Jawa.
Lanang ini, hampir setahun ada di perutku. Meringkuk tak ingin dikeluarkan. Bernafas lebih lama lewat paru-paruku. Merasakan air dari pojok mata, merayap lewat hidung, dan mungkin masuk ke perut dan dihirupnya.
Mungkin karena itu, sepertinya ia merasakan separuh dari apa yang ku rasakan. Mengerti hampir semua isi hatiku. Dan ia pun tahu, aku mencintai lebih dari kedua kakaknya. Lanang itu.

Aku tak pernah melarangnya bergaul dengan siapa saja. Lanang itu. Gagah serupa ksatria. Gilang gemilang membuat gadis-gadis rela memberikan leher untuknya. Entah itu berlebihan atau tidak.
Lanang sendiri, yang entah kenapa, tak pernah berani mengenalkan gadis hitam manis, si rambut merah, atau calon dokter muda yang rupawan juga itu. Aku hanya mengintip mereka dari balik rimbunan. Tersenyum.
Dia sudah besar. Dan dia sudah keluar dari perutku, hampir dua puluh sembilan tahun yang lalu.
Tapi aku juga tak tahu, kenapa selalu titik-titik itu muncul di sudut mataku saat aku melihat Lanang bersama salah satu diantara mereka. Mungkin itulah sebabnya.

Aku hanya menangis. Bukan bersedih. Tapi Lanang sepertinya tak mengerti. Ia tetap takut. Ia takut gadis-gadis itu ku gigit. Dia bahkan lupa, aku sudah tak bergigi.
Sampai si rambut ikal itu bersamanya, Lanang seperti orang kebingungan merapal mantra tiap kali ingin bercerita padaku. Padahal aku tahu, si ikal itu sudah beranak satu. Entah anak siapa.

Sebenarnya, aku hanya ingin kau menjelma namamu. Lanang. Laki-laki sejati. Yang berani membawa gadisnya di depan hidungku. Hidungku saja. Tak perlu gigiku. Karena aku bahkan sudah tak bergigi.
Tapi aku tahu Lanang. Ia tak akan berani. Ia akan mengira aku bersedih. Dan memasukkannya lagi ke perutku.

Dan, untuk ini, aku tak akan bersuara. Biar kutunggu saja ia disini. Sambil melihat mata kecilnya yang memandangi fotoku.
Sepertinya ia merindukan aku. Anakku. Laki-laki sejatiku.

Jadilah Lanang.

Sunday, November 28, 2010

Janji dan Hati

Aku sudah tak punya hati. Ia menghilang bersama lenyapnya seorang laki-laki bernama Lentera. Dia pacarku.
Sejak hari itu, mungkin hatiku memberati langkahnya. Mungkin juga tidak. Siapa orangnya sanggup terus-menerus membawa dua hati. Hatiku, dan miliknya sendiri.
Empat tahun yang lalu. Belum terlalu lama. Maka aku belum bosan menunggunya. Siapa tahu hatiku memang masih ada bersamanya, menempel di kotak kecil di ikat pinggangnya, seperti ia membawa blackberry. Uh..
Dia masih pacarku.

Jika suatu hari kau ketemu. Laki-lakiku itu. Katakan padanya. Tidakkah ia resah dalam mimpi-mimpinya tentang suatu malam, dimana kita bercinta sampai kebasahan. Dan tertawa-tawa sampai hampir menangis.
Tak ada satu malam pun kami lewati. Kami bagi apa saja. Selain cerita. Mungkin juga nyawa. Waktu itu, saat kita masih bersama.
Karenanya, aku belum bosan menunggunya.

Pernah, ia bertanya padaku. Kenapa kau mau? Tak bisa kuberi apa-apa kepadamu?
Dan memang ia tak pernah memberi apa-apa. Kecuali janji-janji sekeranjang penuh. Tapi sudah lama aku putuskan, untuk menikmati sekeranjang janji itu. Maka ku katakan padanya. Perutku sudah kenyang dengan hanya makan janjimu.
Dan ia tersenyum. Selalu setelah mendengar aku berkata begitu.

Malam-malam kami bersama adalah malam-malam dimana hujan tak akan terdengar sampai jatuh ke atap rumah.
Tertahan di balik selimut. Yang kuyup sebab peluh kami. Dan kami melingkar di dalamnya, saling memiliki.
Tak satu atau dua hari. Tapi entah berapa.

Dan hari dimana aku menangis tertahan, adalah hari Minggu ketiga di bulan kedelapan.
Di saat hujan badai di kota kecil itu, tempat kami dinikahkan oleh janji-janji. Kau tak pergi. Aku pun tidak.
Hanya janji-janji kami pilih satu demi satu. Mana yang mesti diganti. Dan mana yang bisa dibawa sampai mati.
Hari itu kau berkata.
Hatimu akan ku bawa. Disini.
Sambil kau tunjuk kotak kecil di ikat pinggangmu. Seperti kau membawa blackberry.

Aku pun berseri-seri. Seperti bocah diberi gula-gula di tangan kirinya. Dan membawa balon warna-warni di tangan sebelahnya.
Begitulah.

Sekali lagi ku katakan padamu. Jika kau bertemu laki-lakiku. Katakan padanya. Aku masih menunggunya.
Tidak di rumah kecil kami waktu itu. Tapi di tempat persembunyian yang pasti ia tahu.
O ya, dan satu lagi. Katakan juga padanya. Aku selalu tak pernah keberatan dengan janji-janji yang kini berada di tempat serupa keranjang sampah.

Tuesday, November 2, 2010

Gendhis

Dia Gendhis. Perempuan Jawa 29 tahun yang baru saja ditinggal mati suaminya. Suami yang aku tahu pasti, tidak dicintainya. Tapi mencintainya, entah dengan apa saja.
Dan kini ia menangis tersedu, di pangkuanku. Karena ia anakku. Satu-satunya.

"Gusti Allah tak akan memberi cobaan yang melebihi batas kemampuan umatnya, Nak. Sabarlah, berarti kamu sedang diuji," aku mengelus-elus rambutnya yang panjang.
Padahal aku jelas tahu, ia tidak menangisi kepergian suaminya.

Di depan orang banyak, aku tidak semestinya membuat malu. Apalagi ia anakku. Tapi aku kenal laki-laki itu.

Kulihat Gendhis. Ia tampak menyesal. Dan sudah sepatutnya menyesal. Berada diantara keadaan yang aku sendiri, setua ini, tak akan mampu menjelaskan. Cuma aku tahu pasti, Gendhis begitu mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang satunya.

Kalau ia, Nak, tak mendatangimu, di hari suamimu mati oleh sakit hatinya, sungguh ia bukan sejenis Ksatria yang patut diperjuangkan, sebenarnya. Apalagi ia sama sekali tak berani menyuguhkan batang hidungnya di depanku.
Ibumu ini tahu, jenis laki-laki apa macam itu.
Laki-laki seperti itu sepatutnya yang kelak akan merasakan karma dari pilu suamimu. Berhutang ribuan penyesalan untuk setiap tetes air matamu.
Biar ia jalani karmanya, Nak. Seperti engkau yang saat ini jalani karma untuk pedih suamimu. Tak usah menyesal.
Iku sing jenenge urip, Gendhis, anakku..

Dan pada 'urip', sungguh bukanlah seperti yang orang-orang bilang. Gusti Allah tak perlu ditanyai. Sama sekali tak ikut campur pada urusan perselingkuhanmu dengan laki-laki ini. Apalagi membantu kamu untuk membuat keputusan menikah dengan almarhum suamimu, Gendhis.
Sungguh juga, jangan menanyakan kenapa pada-Nya. Ibu sudah bilang itu berkali-kali.

Bijaksanalah pada urip, lan Sing Nggawe Urip.
Tidak ada sesuatu yang ada di tangan-Nya, Gendhis, anakku. Semua sudah kau lihat setiap hari dalam garis-garis di tanganmu. Mengikuti kemana kakimu. Tidur di saat matamu terpejam. Dan membuka lagi disaat kamu terbangun.
Semua ada di tanganmu, Nak..

Tapi ini di depan orang banyak, semestinya aku tidak mengatakan semua hal itu..
"Sudahlah, Nak, ini cobaan, cobaan..," aku mengelus-elus kepalamu lagi.

Kau memandangku kuyu. Dan kau pun memahami, ini sama sekali bukan cobaan.

Sunday, September 12, 2010

Jatuh Cinta pada Seorang Ksatria

Akhirnya, kembali juga aku ke hutan tempat peri-peri kecil bermukim. Pulang ke kastaku, pemimpi.
Disini semua kesedihan, kami lagukan dengan bernyanyi. Tak mau ada tangis. Atau lara yang membuat kami berhenti menari.
Semua duka toh bisa terlupa dengan tawa.

Dan pangeran tampan nan gagah dari kasta pemburu itu baru saja pergi. Bau cemerlang dari masa lalu ia bawa turut serta.
Seorang ksatria dari kasta berbeda. Pada dunianya, hidup orang-orang yang memandang hari-hari dengan gagah. Bersama busur dan anak panah.
Padanya, dada-dada tampak membusung. Kaki-kaki berdiri kokoh dalam sepatu lars yang terinjak sedikit saja sudah sakit minta ampun kakiku.
Dagu kokoh yang mencuat ke atas, memandang langit. Tak ada yang menandingi keperkasaan ksatria dari kasta pemburu. Orang-orang dari kasta itu mungkin jugalah yang dinamai oleh para gadis desa sebagai layak dipuja.

Sekali ia melintas hutan, kami nyanyikan nyanyian kami yang paling gempita. Selamat datang, wahai ksatria. Selamat datang di rumah kami, dimana sedih tak pernah menghalangi kami.
Kami ingin ia berlama-lama berada disini. Pada hutan kami, tak akan pernah kau temukan lagi.

Peri-peri kecil tahu, aku jatuh cinta pada salah satu ksatria. Yang paling tampan dan paling cemerlang. Kami sering bertemu sembunyi-sembunyi, dengan tawa peri-peri yang menyimpan rahasia kami.
Dan begitulah, ku nikmati setiap detik ia melintas hutan. Melakukan pertemuan rahasia. Tertawa-tawa bersama dalam satu dua jam waktu, sudahlah cukup.
Setelah itu, ia lanjutkan berburu, dan hidup kembali dengan ksatria-ksatria lain dari kastanya.

Kusebut ini, kisah rahasia. Kita sembunyikan di bilik-bilik gubuk diantara sungai-sungai. Berdebaran setiap kali rumput bergemeresak, mengintip kalau-kalau ada yang datang.
Terkikik melihat ksatria-ksatria lain kami kelabui.

Aku tak mengambil ksatriamu. Tenang saja. Pada hidup kita, tergantung impian yang berbeda.

Sunday, August 29, 2010

Mimpi

Aku mempersiapkan ini, untuk pesta kita 1000 tahun lagi.

Sebuah gaun sederhana. Tapi cantik. Tentu saja, aku ingin jadi yang tercantik di pagi itu. Aku menginginkan pesta di pagi hari, kekasihku.
Dan kau mengiyakannya.
Kau, pastilah kelihatan gagah sekali dengan jas yang kupilihkan kemarin. Siapa orangnya yang tak bisa mengagumi keindahan saat kau memakainya, biar kubantu ia membuka matanya. Hahaha..
Aku memaksa semua orang mengagumimu, kekasihku.
Dan aku tahu pasti, tak ada yang merasa terpaksa.

Aku mau memakai bunga di atas kepala. Bunga yang kau rangkai sendiri katamu. Tak akan mau kulepas. Biar menjadi semacam penghias rambut yang abadi, adakah itu?
Toh, bunga-bunga itu tak akan pernah layu. Dimana kau memetiknya, hei, kekasihku?
Sungguh, bagiku tak akan ada bunga yang tak layu. Tapi setelah meletakkannya di atas kepala, aku mulai percaya, inilah yang kau bilang tak akan pernah layu.

Dan kau, ah, lagi-lagi kau. Kau akan memakai rangkaian bunga juga. Biar kusematkan di jas hitam-mu. Itu bunga juga kupetik sendiri.
Kucari yang seperti itu. Dan sungguh, tak ada bahkan satu dalam seribu, yang serupa itu.

Kita akan berjalan. Pelan. Dengan senyum merekah, ke setiap tamu yang datang.
Tiga puluh. Aku hanya menginginkan tiga puluh.
Tapi kau berkeras untuk lima puluh.
Baiklah, kita ambil tengah-tengahnya saja, empat puluh.

Kau akan menciumku. Tepat di depan semua orang. Ciuman yang biasanya kita sembunyikan. Ciuman yang tertatih-tatih selama ini kita tutupi. Dengan berbagai kain, selendang, ataupun alasan.
Hari itu, kita membukanya lebar-lebar. Tak ada pintu yang kita kunci rapat-rapat. Biar semua yang melihat datang sebagai tamu.
Dan kita, menjadi semacam raja dan ratu, kata orang-orang itu..

Aku mempersiapkan ini, untuk pesta kita 1000 tahun lagi.

Hari Minggu Kedua

Namanya Baby.
Di hari minggu kedua ini, dia masih kelihatan cantik.

"Tak ada salahnya aku merindukanmu, Naga Biru-ku" desahnya sambil memunguti retakan-retakan hatinya yang jatuh berceceran. Sudah dua minggu. Dan ini hari minggu kedua.
Tapi Baby tetap bahagia.

Dalam segenggaman tangan, hatinya mulai terbentuk lagi. Masih ada serpih-serpih kecil yang ia sendiri tak tahu harus dipasangkan dimana.
"Kayak mainan bongkar pasang aja.. Biar deh, simpen dulu disini", Baby meletakkan serpih-serpih kecil di laci lemari. Siapa juga yang peduli hatiku minus serpih-serpih kecil itu. Toh, dari sisi manapun, masih kelihatan sempurna.

Diletakkannya hatinya dalam jambangan. Jangan diberi air. Biar ia mencari hawa segar sendiri.
Baby jadi teringat Naga Biru-nya. "Hey, kau disana? Tidakkah kau mengalami juga apa yang aku alami disini?"
Merekatkan serpihan-serpihan kecil agar orang tak melihatnya. Sama sekali tak ada retakan. Persis seperti baru, saat pertama kali kita bertemu, Naga Biru-ku.
Aku merekatkan ini untukmu, Naga Biru-ku. Agar kau tak bersedih hati. Tak ada kekacauan yang kau buat. Bahkan tak ada api sama sekali yang keluar dari mulutmu, mampu menghanguskan badanku.
Kau satu-satunya Naga tak berapi, dan berwarna biru.

"Karena itu, sampai mampus aku mencintaimu.."

Baby tersenyum lagi. Kali ini melihat hatinya di dalam jambangan. Dihiasi bunga-bunga di sekelilingnya.
Sambil merindukan Naga Biru-nya..

Tuesday, August 17, 2010

Nobody Said It Was Easy

Sebaiknya tak tidur denganmu.
Mestinya, ku tunggu sampai saat yang tepat.
Katamu kau tak suka dengan perempuan yang kau tiduri.

Oh, ya, ya, jadi kau suka dengan perempuan yang tak tidur denganmu?
Mestinya aku sabar menunggu..
Sampai kau mengajakku? Bukan, bukan ! Sampai kau mengawiniku? Ya, seperti itu..

Tapi aku takut kau lari..
Tidak? Kau tak kan lari?
Oh, hanya tidur dengan perempuan lain?
Ya, ya, siapa yang bisa mencobanya?
Mungkin aku yang pertama.

Terus, kalau sudah begini lantas bagaimana?
Kau tak mau?
Oh, ya, ya, aku memang terlalu tergoda waktu itu.
Aku tergoda. Kau kugoda. Aku tergoda kau yang begitu menggoda.

Jadi ini tak bisa diteruskan?
Karena aku terlalu terburu-buru. Terburu-buru waktu. Terburu-buru lampu. Terburu-buru nafsu.
Aku terburu-buru. Kau terburu-buru. Malam itu terburu-buru. Bulan itu terburu-buru. Cinta kita terburu-buru.
Tak ada cinta yang terburu-buru.

Sunday, August 15, 2010

Riena dan Joe

Riena tersadar. Ia tinggal di kota yang salah.
Tak ada yang bisa lupa. Ia perempuan kota besar. Riena ingin mengingatkan itu pada semua orang.

Ini semua gara-gara Joe. Joe yang membawanya kemari. Di tengah-tengah orang-orangan sawah yang cuma bisa mengangguk dan menggeleng. Joe-pun jadi seperti itu, tiap kali ia tanya kapan mereka pergi, ia hanya mengangguk-angguk. Dan tiap kali ia tanya ia ingin pergi, ia hanya menggeleng-geleng. Mengangguk. Menggeleng.

Riena terbangun. Dari mimpi yang tak begitu panjang. Dan ia tersadar. Ia tinggal di kota yang salah.

Satu hari, ia membelah pematang sawah, ditemuinya tikus-tikus berlarian ramai. Tak mau melihat mereka, karena ia tak bisa ikut serta.
Di petang bulan Agustus, seseorang dengan langit biru di kepalanya, tersenyum melihat Riena. Mungkin ingin ia bagi cakrawalanya dengan perempuan kota besar yang lagi kesasar. Tapi Riena menolaknya. Pacarku tak suka aku memakai cakrawala di atas kepala. Dan Si Langit Biru itupun berlalu.
Empat hari yang lalu, Riena akhirnya berlari. Menuju lapangan tempat para gadis kecil bermain-main dengan kata-kata yang tak ia mengerti. Tapi apalah daya. Joe mengejarnya. Riena, marilah kita bermain-main sendiri, cukup kata-kataku saja yang kau mengerti.

Riena menangis. Ia mencintai Joe. Tapi tidak kota ini. Ia tinggal di kota yang salah.

Joe berteriak. Suatu siang, perempuannya tak lagi kesasar.

Maafkan aku, Joe..

Friday, August 13, 2010

Menanti Merah

Aku suka sekali warna merah. Berapa banyak di lemariku baju berwarna merah.
Pipiku merah, walau tidak tepat merah. Merah muda. Tapi tetap saja orang memanggilku 'si pipi merah'. Warna yang membuatku tampak selalu dalam susana hati yang lagi malu-malu. Merah merona. Akibat blush-on.
Rambutku tadinya coklat. Tapi setelah efek cat-nya memudar, sekarang jadi agak kemerahan.
O ya, aku punya beberapa tas berwarna merah, mulai dari yang tiga puluh ribuan sampai yang perlu menabung beberapa bulan untuk mendapatkannya.

Malam ini, aku duduk di bawah senja merah. Senja hasil bikinan lampu-lampu.
Dan langit begitu memerah..

Bibirku, satu-satunya yang tak begitu merah. Walaupun eye-shadow ku pun merah. Merah tua.
Tapi hatiku memerah. Jantungku mungkin mengikutinya. Tak tahu pasti dimana letaknya. Berdegup-degup menunggu sesuatu.

Aku ingat, wajahmu memerah kala itu. Berkeringat. Menahan amarah.
Dan wajahku, sudah pasti semerah darah. Lebam. Tak menahan amarah. Menumpahkan titik-titik basah.

Kita namai hidup kita, hidup yang begitu merah. Membara. Semembara nafas kita di malam bulan terlihat begitu merah.
Ah, kamu, begitu merah di mataku..

Malam ini, aku duduk di bawah senja merah. Senja hasil bikinan lampu-lampu.
Dan langit begitu memerah..

Tapi aku menunggu, merah dalam hidup kita, yang tak datang-datang juga..

Andai Bisa Kubaca Masa Depan

Aku mau belajar ilmu membaca garis tangan. Biar ku bisa membaca masa depan. Jadi bisa kuhindari orang-orang yang tak layak diperjuangkan, dan orang-orang yang sampai mati harus dicintai.
Oh, senangnya..

Seseorang membaca garis tanganku, katanya aku tak kawin dengan laki-laki yang satu ini. Tak tahukah ia? Dengan yang ini, aku sudah kawin ratusan kali, sejak kami pertama kali bertemu, di bawah senja berwarna kemerahan, entah itu senja beneran atau langit-langit mall yang terpantul cahaya lampu.
Seseorang yang lain menakut-nakutiku, katanya aku harus pandai-pandai menjaga laki-lakiku. Karena laki-laki yang ini, sukanya lari-lari. Apa perlu kuberikan rantai di lehernya?
Suatu kali, ku baca sendiri garis tanganku. Kata hatiku waktu itu, aku harus mengikutinya. Dan mencintainya sampai mati.
Jadi kuputuskan saja, menyerahkan diriku, dari kaki sampai kepala.

Dan oh la la.. Tak sia-sia aku meramal. Berkonsentrasi pada kerut-kerut di tangan. Mengartikan setiap tanjakan naik turun. Hidupku yang melayang bebas dan menukik tajam habis-habisan dalam satu malam. Hidupku yang bertaburan bintang sekaligus berlangit pekat. Ada-ada saja, si garis tangan. Setiap orang toh akan melaluinya..
Tapi aku tahu, akulah si pemberani, yang tau tahu takut dan tak gentar pada api. Sudah ku naiki gunung dan lembah, dan kini ku terjungkal di dasarnya..

Pagi Baru

Satu lagi, sebuah pagi.. Selamat datang di kehidupanku.

Mengenalmu, membuat kegairahanku berdebum-debum lagi. Entah sekencang apa. Hahaha. Tak tahu aku apa namanya.
Yang pasti aku akan mulai menulis. Apa saja.
Tentang seorang sahabat. Tentang teman. Tentang orang. Tentang pagi. O ya, juga tentang kekasih kecilku yang tidak boleh tidak disebutkan namanya 'My Lovely Kyra, Mum loves u..', dan tentang kekasih hati jika kelak kutemukan lagi.

Mari kita berjabat tangan. Seperti seorang kenalan baru. Senang bertemu denganmu, Pagi Baru..