Tuesday, November 2, 2010

Gendhis

Dia Gendhis. Perempuan Jawa 29 tahun yang baru saja ditinggal mati suaminya. Suami yang aku tahu pasti, tidak dicintainya. Tapi mencintainya, entah dengan apa saja.
Dan kini ia menangis tersedu, di pangkuanku. Karena ia anakku. Satu-satunya.

"Gusti Allah tak akan memberi cobaan yang melebihi batas kemampuan umatnya, Nak. Sabarlah, berarti kamu sedang diuji," aku mengelus-elus rambutnya yang panjang.
Padahal aku jelas tahu, ia tidak menangisi kepergian suaminya.

Di depan orang banyak, aku tidak semestinya membuat malu. Apalagi ia anakku. Tapi aku kenal laki-laki itu.

Kulihat Gendhis. Ia tampak menyesal. Dan sudah sepatutnya menyesal. Berada diantara keadaan yang aku sendiri, setua ini, tak akan mampu menjelaskan. Cuma aku tahu pasti, Gendhis begitu mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang satunya.

Kalau ia, Nak, tak mendatangimu, di hari suamimu mati oleh sakit hatinya, sungguh ia bukan sejenis Ksatria yang patut diperjuangkan, sebenarnya. Apalagi ia sama sekali tak berani menyuguhkan batang hidungnya di depanku.
Ibumu ini tahu, jenis laki-laki apa macam itu.
Laki-laki seperti itu sepatutnya yang kelak akan merasakan karma dari pilu suamimu. Berhutang ribuan penyesalan untuk setiap tetes air matamu.
Biar ia jalani karmanya, Nak. Seperti engkau yang saat ini jalani karma untuk pedih suamimu. Tak usah menyesal.
Iku sing jenenge urip, Gendhis, anakku..

Dan pada 'urip', sungguh bukanlah seperti yang orang-orang bilang. Gusti Allah tak perlu ditanyai. Sama sekali tak ikut campur pada urusan perselingkuhanmu dengan laki-laki ini. Apalagi membantu kamu untuk membuat keputusan menikah dengan almarhum suamimu, Gendhis.
Sungguh juga, jangan menanyakan kenapa pada-Nya. Ibu sudah bilang itu berkali-kali.

Bijaksanalah pada urip, lan Sing Nggawe Urip.
Tidak ada sesuatu yang ada di tangan-Nya, Gendhis, anakku. Semua sudah kau lihat setiap hari dalam garis-garis di tanganmu. Mengikuti kemana kakimu. Tidur di saat matamu terpejam. Dan membuka lagi disaat kamu terbangun.
Semua ada di tanganmu, Nak..

Tapi ini di depan orang banyak, semestinya aku tidak mengatakan semua hal itu..
"Sudahlah, Nak, ini cobaan, cobaan..," aku mengelus-elus kepalamu lagi.

Kau memandangku kuyu. Dan kau pun memahami, ini sama sekali bukan cobaan.

No comments: