Sunday, November 28, 2010

Janji dan Hati

Aku sudah tak punya hati. Ia menghilang bersama lenyapnya seorang laki-laki bernama Lentera. Dia pacarku.
Sejak hari itu, mungkin hatiku memberati langkahnya. Mungkin juga tidak. Siapa orangnya sanggup terus-menerus membawa dua hati. Hatiku, dan miliknya sendiri.
Empat tahun yang lalu. Belum terlalu lama. Maka aku belum bosan menunggunya. Siapa tahu hatiku memang masih ada bersamanya, menempel di kotak kecil di ikat pinggangnya, seperti ia membawa blackberry. Uh..
Dia masih pacarku.

Jika suatu hari kau ketemu. Laki-lakiku itu. Katakan padanya. Tidakkah ia resah dalam mimpi-mimpinya tentang suatu malam, dimana kita bercinta sampai kebasahan. Dan tertawa-tawa sampai hampir menangis.
Tak ada satu malam pun kami lewati. Kami bagi apa saja. Selain cerita. Mungkin juga nyawa. Waktu itu, saat kita masih bersama.
Karenanya, aku belum bosan menunggunya.

Pernah, ia bertanya padaku. Kenapa kau mau? Tak bisa kuberi apa-apa kepadamu?
Dan memang ia tak pernah memberi apa-apa. Kecuali janji-janji sekeranjang penuh. Tapi sudah lama aku putuskan, untuk menikmati sekeranjang janji itu. Maka ku katakan padanya. Perutku sudah kenyang dengan hanya makan janjimu.
Dan ia tersenyum. Selalu setelah mendengar aku berkata begitu.

Malam-malam kami bersama adalah malam-malam dimana hujan tak akan terdengar sampai jatuh ke atap rumah.
Tertahan di balik selimut. Yang kuyup sebab peluh kami. Dan kami melingkar di dalamnya, saling memiliki.
Tak satu atau dua hari. Tapi entah berapa.

Dan hari dimana aku menangis tertahan, adalah hari Minggu ketiga di bulan kedelapan.
Di saat hujan badai di kota kecil itu, tempat kami dinikahkan oleh janji-janji. Kau tak pergi. Aku pun tidak.
Hanya janji-janji kami pilih satu demi satu. Mana yang mesti diganti. Dan mana yang bisa dibawa sampai mati.
Hari itu kau berkata.
Hatimu akan ku bawa. Disini.
Sambil kau tunjuk kotak kecil di ikat pinggangmu. Seperti kau membawa blackberry.

Aku pun berseri-seri. Seperti bocah diberi gula-gula di tangan kirinya. Dan membawa balon warna-warni di tangan sebelahnya.
Begitulah.

Sekali lagi ku katakan padamu. Jika kau bertemu laki-lakiku. Katakan padanya. Aku masih menunggunya.
Tidak di rumah kecil kami waktu itu. Tapi di tempat persembunyian yang pasti ia tahu.
O ya, dan satu lagi. Katakan juga padanya. Aku selalu tak pernah keberatan dengan janji-janji yang kini berada di tempat serupa keranjang sampah.

No comments: