Sunday, August 29, 2010

Mimpi

Aku mempersiapkan ini, untuk pesta kita 1000 tahun lagi.

Sebuah gaun sederhana. Tapi cantik. Tentu saja, aku ingin jadi yang tercantik di pagi itu. Aku menginginkan pesta di pagi hari, kekasihku.
Dan kau mengiyakannya.
Kau, pastilah kelihatan gagah sekali dengan jas yang kupilihkan kemarin. Siapa orangnya yang tak bisa mengagumi keindahan saat kau memakainya, biar kubantu ia membuka matanya. Hahaha..
Aku memaksa semua orang mengagumimu, kekasihku.
Dan aku tahu pasti, tak ada yang merasa terpaksa.

Aku mau memakai bunga di atas kepala. Bunga yang kau rangkai sendiri katamu. Tak akan mau kulepas. Biar menjadi semacam penghias rambut yang abadi, adakah itu?
Toh, bunga-bunga itu tak akan pernah layu. Dimana kau memetiknya, hei, kekasihku?
Sungguh, bagiku tak akan ada bunga yang tak layu. Tapi setelah meletakkannya di atas kepala, aku mulai percaya, inilah yang kau bilang tak akan pernah layu.

Dan kau, ah, lagi-lagi kau. Kau akan memakai rangkaian bunga juga. Biar kusematkan di jas hitam-mu. Itu bunga juga kupetik sendiri.
Kucari yang seperti itu. Dan sungguh, tak ada bahkan satu dalam seribu, yang serupa itu.

Kita akan berjalan. Pelan. Dengan senyum merekah, ke setiap tamu yang datang.
Tiga puluh. Aku hanya menginginkan tiga puluh.
Tapi kau berkeras untuk lima puluh.
Baiklah, kita ambil tengah-tengahnya saja, empat puluh.

Kau akan menciumku. Tepat di depan semua orang. Ciuman yang biasanya kita sembunyikan. Ciuman yang tertatih-tatih selama ini kita tutupi. Dengan berbagai kain, selendang, ataupun alasan.
Hari itu, kita membukanya lebar-lebar. Tak ada pintu yang kita kunci rapat-rapat. Biar semua yang melihat datang sebagai tamu.
Dan kita, menjadi semacam raja dan ratu, kata orang-orang itu..

Aku mempersiapkan ini, untuk pesta kita 1000 tahun lagi.

Hari Minggu Kedua

Namanya Baby.
Di hari minggu kedua ini, dia masih kelihatan cantik.

"Tak ada salahnya aku merindukanmu, Naga Biru-ku" desahnya sambil memunguti retakan-retakan hatinya yang jatuh berceceran. Sudah dua minggu. Dan ini hari minggu kedua.
Tapi Baby tetap bahagia.

Dalam segenggaman tangan, hatinya mulai terbentuk lagi. Masih ada serpih-serpih kecil yang ia sendiri tak tahu harus dipasangkan dimana.
"Kayak mainan bongkar pasang aja.. Biar deh, simpen dulu disini", Baby meletakkan serpih-serpih kecil di laci lemari. Siapa juga yang peduli hatiku minus serpih-serpih kecil itu. Toh, dari sisi manapun, masih kelihatan sempurna.

Diletakkannya hatinya dalam jambangan. Jangan diberi air. Biar ia mencari hawa segar sendiri.
Baby jadi teringat Naga Biru-nya. "Hey, kau disana? Tidakkah kau mengalami juga apa yang aku alami disini?"
Merekatkan serpihan-serpihan kecil agar orang tak melihatnya. Sama sekali tak ada retakan. Persis seperti baru, saat pertama kali kita bertemu, Naga Biru-ku.
Aku merekatkan ini untukmu, Naga Biru-ku. Agar kau tak bersedih hati. Tak ada kekacauan yang kau buat. Bahkan tak ada api sama sekali yang keluar dari mulutmu, mampu menghanguskan badanku.
Kau satu-satunya Naga tak berapi, dan berwarna biru.

"Karena itu, sampai mampus aku mencintaimu.."

Baby tersenyum lagi. Kali ini melihat hatinya di dalam jambangan. Dihiasi bunga-bunga di sekelilingnya.
Sambil merindukan Naga Biru-nya..

Tuesday, August 17, 2010

Nobody Said It Was Easy

Sebaiknya tak tidur denganmu.
Mestinya, ku tunggu sampai saat yang tepat.
Katamu kau tak suka dengan perempuan yang kau tiduri.

Oh, ya, ya, jadi kau suka dengan perempuan yang tak tidur denganmu?
Mestinya aku sabar menunggu..
Sampai kau mengajakku? Bukan, bukan ! Sampai kau mengawiniku? Ya, seperti itu..

Tapi aku takut kau lari..
Tidak? Kau tak kan lari?
Oh, hanya tidur dengan perempuan lain?
Ya, ya, siapa yang bisa mencobanya?
Mungkin aku yang pertama.

Terus, kalau sudah begini lantas bagaimana?
Kau tak mau?
Oh, ya, ya, aku memang terlalu tergoda waktu itu.
Aku tergoda. Kau kugoda. Aku tergoda kau yang begitu menggoda.

Jadi ini tak bisa diteruskan?
Karena aku terlalu terburu-buru. Terburu-buru waktu. Terburu-buru lampu. Terburu-buru nafsu.
Aku terburu-buru. Kau terburu-buru. Malam itu terburu-buru. Bulan itu terburu-buru. Cinta kita terburu-buru.
Tak ada cinta yang terburu-buru.

Sunday, August 15, 2010

Riena dan Joe

Riena tersadar. Ia tinggal di kota yang salah.
Tak ada yang bisa lupa. Ia perempuan kota besar. Riena ingin mengingatkan itu pada semua orang.

Ini semua gara-gara Joe. Joe yang membawanya kemari. Di tengah-tengah orang-orangan sawah yang cuma bisa mengangguk dan menggeleng. Joe-pun jadi seperti itu, tiap kali ia tanya kapan mereka pergi, ia hanya mengangguk-angguk. Dan tiap kali ia tanya ia ingin pergi, ia hanya menggeleng-geleng. Mengangguk. Menggeleng.

Riena terbangun. Dari mimpi yang tak begitu panjang. Dan ia tersadar. Ia tinggal di kota yang salah.

Satu hari, ia membelah pematang sawah, ditemuinya tikus-tikus berlarian ramai. Tak mau melihat mereka, karena ia tak bisa ikut serta.
Di petang bulan Agustus, seseorang dengan langit biru di kepalanya, tersenyum melihat Riena. Mungkin ingin ia bagi cakrawalanya dengan perempuan kota besar yang lagi kesasar. Tapi Riena menolaknya. Pacarku tak suka aku memakai cakrawala di atas kepala. Dan Si Langit Biru itupun berlalu.
Empat hari yang lalu, Riena akhirnya berlari. Menuju lapangan tempat para gadis kecil bermain-main dengan kata-kata yang tak ia mengerti. Tapi apalah daya. Joe mengejarnya. Riena, marilah kita bermain-main sendiri, cukup kata-kataku saja yang kau mengerti.

Riena menangis. Ia mencintai Joe. Tapi tidak kota ini. Ia tinggal di kota yang salah.

Joe berteriak. Suatu siang, perempuannya tak lagi kesasar.

Maafkan aku, Joe..

Friday, August 13, 2010

Menanti Merah

Aku suka sekali warna merah. Berapa banyak di lemariku baju berwarna merah.
Pipiku merah, walau tidak tepat merah. Merah muda. Tapi tetap saja orang memanggilku 'si pipi merah'. Warna yang membuatku tampak selalu dalam susana hati yang lagi malu-malu. Merah merona. Akibat blush-on.
Rambutku tadinya coklat. Tapi setelah efek cat-nya memudar, sekarang jadi agak kemerahan.
O ya, aku punya beberapa tas berwarna merah, mulai dari yang tiga puluh ribuan sampai yang perlu menabung beberapa bulan untuk mendapatkannya.

Malam ini, aku duduk di bawah senja merah. Senja hasil bikinan lampu-lampu.
Dan langit begitu memerah..

Bibirku, satu-satunya yang tak begitu merah. Walaupun eye-shadow ku pun merah. Merah tua.
Tapi hatiku memerah. Jantungku mungkin mengikutinya. Tak tahu pasti dimana letaknya. Berdegup-degup menunggu sesuatu.

Aku ingat, wajahmu memerah kala itu. Berkeringat. Menahan amarah.
Dan wajahku, sudah pasti semerah darah. Lebam. Tak menahan amarah. Menumpahkan titik-titik basah.

Kita namai hidup kita, hidup yang begitu merah. Membara. Semembara nafas kita di malam bulan terlihat begitu merah.
Ah, kamu, begitu merah di mataku..

Malam ini, aku duduk di bawah senja merah. Senja hasil bikinan lampu-lampu.
Dan langit begitu memerah..

Tapi aku menunggu, merah dalam hidup kita, yang tak datang-datang juga..

Andai Bisa Kubaca Masa Depan

Aku mau belajar ilmu membaca garis tangan. Biar ku bisa membaca masa depan. Jadi bisa kuhindari orang-orang yang tak layak diperjuangkan, dan orang-orang yang sampai mati harus dicintai.
Oh, senangnya..

Seseorang membaca garis tanganku, katanya aku tak kawin dengan laki-laki yang satu ini. Tak tahukah ia? Dengan yang ini, aku sudah kawin ratusan kali, sejak kami pertama kali bertemu, di bawah senja berwarna kemerahan, entah itu senja beneran atau langit-langit mall yang terpantul cahaya lampu.
Seseorang yang lain menakut-nakutiku, katanya aku harus pandai-pandai menjaga laki-lakiku. Karena laki-laki yang ini, sukanya lari-lari. Apa perlu kuberikan rantai di lehernya?
Suatu kali, ku baca sendiri garis tanganku. Kata hatiku waktu itu, aku harus mengikutinya. Dan mencintainya sampai mati.
Jadi kuputuskan saja, menyerahkan diriku, dari kaki sampai kepala.

Dan oh la la.. Tak sia-sia aku meramal. Berkonsentrasi pada kerut-kerut di tangan. Mengartikan setiap tanjakan naik turun. Hidupku yang melayang bebas dan menukik tajam habis-habisan dalam satu malam. Hidupku yang bertaburan bintang sekaligus berlangit pekat. Ada-ada saja, si garis tangan. Setiap orang toh akan melaluinya..
Tapi aku tahu, akulah si pemberani, yang tau tahu takut dan tak gentar pada api. Sudah ku naiki gunung dan lembah, dan kini ku terjungkal di dasarnya..

Pagi Baru

Satu lagi, sebuah pagi.. Selamat datang di kehidupanku.

Mengenalmu, membuat kegairahanku berdebum-debum lagi. Entah sekencang apa. Hahaha. Tak tahu aku apa namanya.
Yang pasti aku akan mulai menulis. Apa saja.
Tentang seorang sahabat. Tentang teman. Tentang orang. Tentang pagi. O ya, juga tentang kekasih kecilku yang tidak boleh tidak disebutkan namanya 'My Lovely Kyra, Mum loves u..', dan tentang kekasih hati jika kelak kutemukan lagi.

Mari kita berjabat tangan. Seperti seorang kenalan baru. Senang bertemu denganmu, Pagi Baru..